Pengertian Etika Bisnis Islam
Etika atau akhlak adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia kepada lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia didalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang diperbuat. Lebih tegasm menurut madjid fakhri merupakan gambaran rasional mengenai hakikat dan dasar perbuatan dan keputusan tersesebut secara moral diperintahkan dan dilarang.
Etika adalah sebuah konsep atara benar dan salah. etika mengajarkan apakah perilaku bermoral atau tidak, dan tekait dengan hubungan manusi yang mendasar. bagaimana kita berpikir dan bertindak terhadap orang lain dan bagaimana kita ingin orang lain berperilaku atau bersikap terhadap kita. Prinsip etika adalah pedoman bagi perilaku moral. Sebagai contoh, didalam masyarakat, berbohong, mencuri, menipu dan menyakiti orang lain dan dianggap tidak etis dan tidak bermoral. Kejujuran, menepati janji, membantu orang lain, dan menghormati hak-hak orang lain dianggap etis dan merupakan perilaku moral yang diharapkan. Aturan perilaku dasar seperti itu penting bagi kelangsungan dan kelanjutan kehidupan organisasi dimanapun.
Etika bisnis adalah implikasi dari pemikiran etika secara umum dalam perilaku bisnis. Etika bisnis bukanlah bagian khusus dari etika yang berbeda dari etika pada umumnya dan dapat diaplikasikan hanya untuk bisnis. Secara sederhana mempelajari etika dalam bisnis berarti mempelajari tentang mana yang baik dan buruk, benar dan salah dakam dunia bisnis berdasarkan prinsip-prinsip moralitas.
Etika Bisnis Islam adalah seperangkat prinsip-prinsip etika yang membedakan yang baik dan yang buruk, harus, benar, salah, dan lain sebagainya dan prinsip-prinsip umum yang membenarkan seseorang untuk mengaplikasikannya atas apa saja dalam dunia bisnis. Dapat disimpulkan bahwa Etika Bisnis Islam adalah seperangkat nilai, aturan maupun tata cara yang dijadikan pedoman dalam berbisnis sehingga aktivitas bisnis yang dilakukan tidak menyimpang dari ajaran Islam. Jadi, antara etika dengan bisnis merupakan dua hal yang saling berhubungan sehingga menghasilkan suatu tatanan bisnis yang saling menguntungkan dintara kedua belah pihak.
Konsep Etika Bisnis Islam
Islam diyakini sebagai suatu agama sekaligus suatu sistem. Islam memiliki pedoman dalam mengarahkan umatnya untuk melakukan amalan. Pedoman tersebut adalah Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi. Sebagai sumber ajaran Islam, setidaknya dapat menawarkan nilai-nilai dasar atau prinsip-prinsip umum yang penerapannya dalam bisnis disesuaikan dengan perkembangan zaman dan mempertimbangkan dimensi ruang dalam waktu. Islam seringkali dijadikan sebagai model tatanan kehidupan. Hal ini tentunya dapat dipakai untuk pengembangan lebih lanjut atau suatu tatanan kehidupan tersebut, termasuk tatanan kehidupan bisnis.
Al-Qur‟an dalam mengajak manusia untuk mempercayai dan mengamalkan tuntunan-tuntunannya dalam segala aspek kehidupan seringkali menggunakan istilah-istilah yang dikenal dalam dunis bisnis, seperti jual beli, untung rugi, dan sebagainya. Dalam konteks
ini Al-Qur‟an menjanjikan dalam surat At-Taubah: 111 yang artinya: Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.
Dalam membangun etika bisnis yang berbasis syariah, Islam memberikan konsep etika bisnis dalam pandangan Islam yang akan diuraikan sebagai berikut:
a. Penerapan Konsep Keesaan Dalam Etika Bisnis
Berdasarkan diskusi mengenai konsep keesaan diatas, seorang pengusaha muslim tidak akan:
- Berbuat diskriminatif terhadap pekerja, pemasok, pembeli, dll.
- Dapat dipaksa untuk berbuat tidak etis, karena ia hanya takut dan cinta kepada Allah SWT.
- Menimbun kekayaannya dengan penuh keserakahan. Konsep amanah atau kepercayaan memiliki makna yang sangat penting baginya karena ia sadar bahwa semua harta dunia bersifat sementara, dan harus dipergunakan secara bijaksana.
b. Penerapan Konsep Keseimbangan dalam Etika Bisnis
Konsep keseimbangan atau kesetaraan berlaku baik secara harfiah maupun kias dalam dunia bisnis. Sebagai contoh, Allah SWT memperingatkan para pengusaha muslim untuk:
“Sempurnakanlah takaranmu apabila kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar: itulah yang lebih utama dan lebih akibatnya.”
c. Penerapan Konsep Kehendak Bebas dalam Etika Bisnis
Berdasarkan konsep kehendak bebas, manusia memiliki kebebasan untuk membuat kontrak dan menepatinya ataupun mengingkarinya. Seorang muslim, yang telah menyerahkan hidupnya kepada Allah SWT, akan menepati semua kontrak yang telah dibuatnya.
d. Penerapan Konsep Tanggungjawab dalam Etika Bisnis
Jika seorang pengusaha muslim berperilaku secara tidak etis, ia tidak dapat menyalahkan tindakannya pada persoalan tekanan bisnis ataupun pada kenyataan bahwa setiap orang juga berperilaku tidak etis. Misal si A harus memikul tanggungjawab tertinggi atas tindakannya sendiri.
e. Penerapan Konsep Kebajikan dalam Etika Bisnis
enurut Al-Ghazali terdapat enam bentuk kebajikan, diantaranya:
- Jika seseorang membutuhkan sesuati maka orang lain harus memberikannya, dengan mengambil keuntungan sesedikit
- Jika seseorang membeli sesuatu dari orang miskin, maka lebih baik baginya untuk kehilangan sedikit uang dengan membayarnya lebih dari harga yang yang sebenarnya.
- Dalam mengabulkan hak pembayaran dan peminjaman, seseorang harus bertindak secara bijaksana dengan memberi waktu yang lebih banyak kepada sang peminjam untuk membayar hutangnya, dan jika diperlukan, seseorang harus membuat pengurangan pinjaman untuk meringankan beban sang peminjam.
- Sudah sepantasnya bahwa mereka ingin mengembalikan barang-barang yang telah dibeli seharusnya diperbolehkan untuk melakukannya demi kebajikan.
- Merupakan tindakan yang sangat baik bagi sanga peminjam jika mereka membayar hutangnya tanpa harus diminta, dan jika mungkin jauh-jauh hari sebelum jatuh waktu pembayarannya.
- Ketika menjual barang secara kredit, seseorang harus cukup bermurah hati, tidak memaksa membayar ketika orang tidak mampu membayar dalam waktu yang telah ditetapkan.
Etika Distribusi Dalam Islam
Dalam Islam, kegiatan distribusi memang tidak dijelaskan secara rinci dalam Al-Qur‟an ataupun al-Hadits, hanya saja sebagaimana pada prinsip produksi dan konsumsi, Islam memberikan norma etis tentang bagaimana seharusnya umat Islam untuk bersikap dermawan. Jadi, kegiatan distribusi dalam Islam ada dua orientasi, pertama, adalah menyalurkan rezeki (kekayaan) untuk diinfakkan (didistribusikan) demi kepentingan diri sendiri maupun orang lain, seperti pengeluaran zakat sebagai pensucian harta maupun jiwa, serta mendermawankan sebagian harta bendanya. Kedua, berkenaan dengan mempertukarkan hasil-hasil produksi dan daya ciptanya kepada orang lain yang membutuhkan, agar mendapat laba sebagai wujud dari pemenuhan kebutuhan atas bisnis oriented.
Pada dasarnya Islam memiliki dua sistem distribusi utama, yakni distribusi secara komersial dan mengikuti mekanisme pasar serta sistem distribusi yang bertumpu pada aspek keadilan sosial masyarakat. Sistem distribusi yang berlangsung melalui proses ekonomi (mekanisme pasar) yakni mekanisme yang dihasilkan dari proses tukar-menukar dari para pemilik barang dan jasa. Mekanisme ini diterangkan dalam firman Allah Swt:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An-Nisa‟: 29).
Nilai yang ada dalam distribusi ekonomi islam dalam menjalankan distribusi ada beberapa nilai yang ada diantaranya :
Akidah
Akidah mempunyai peran yang penting dalam kehidupan manusia. Ia mempunyai dampak yang kuat dalam cara berpikir seseorang. Akidah begitu kuat pengaruhnya sehingga dapat mengendalikan manusia agar mau mengikuti ajaran yang diembannya.
Moral
Moral menunjukkan kepada perilaku manusia tentang hukum yang berlaku pada manusia itu sendiri. Hukum yang berlaku pada manusia berbeda dengan hukum formal. Pada hukum formal memberi sanksi jika melanggar. Akan tetapi, hukum moral tidak tetap menembus ke dalam sehingga melihat hal yang bersifat niatnya saja. Misalnya dalam kasus orang yang bersedekah, hukum moral memandang niat dari sedekah ini. Jika niatnya baik demi menolong orang yang lemah maka sedekah ini baik dan berarti pula sama persis dengan nilai moral. Tapi jika niatnya jelek hanya untuk riya‟ maka sedekah demikian dianggap salah dan divonis sebagai tindakan yang tidak berakhlakul karimah.
Islam memiliki etika distribusi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari etika komprehensif Islam. Distribusi yang dimaksudkan disini adalah kegiatan membawa barang dan jasa kepada konsumen. Islam tidak membiarkan kegiatan distribusi ini bebas nilai. Dengan adanya etika Islam dalam mendistribusikan barang seorang distributor harus memperhatikan etika agar perilakunya sesuai dengan etika bisnis Islam. Beberapa etika Islam dalam bidang distribusi adalah sebagai berikut:
1. Selalu menghiasi amal dengan niat ibadah dan ikhlas.
Dalam melakukan kegiatan distribusi hendaknya berniat untuk tidak mengejar keuntungan semata, akan tetapi harus tetap mengaharap keberhakan dari Allah SWT. Melakukan pekerjaan dengan ikhlas dan tidak mengeluh, selalu bersemangat dalam bekerja.
2. Transparan, dan barangnya halal serta tidak membahayakan.
Harga yang tidak transparan bisa mengandung penipuan. Untuk itu menetapkan harga dengan terbuka dan wajar sangat dihormati dalam Islam agar tidak terjerumus dalam riba.13 Kendati dalam bisnis kita ingin memperoleh keuntungan, tetapi hak-hak pembeli harus tetap dihormati.14 Sedangkan komoditi bisnis yang dijual adalah barang yang suci dan halal, bukan barang yang haram, seperti: babi, anjing, minuman keras, dll. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang artinya:
“Daripada Jabir bin Abdullah (r.a) bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah (s.a.w) bersabda pada tahun pembukaan kota Mekah ketika berada di Mekah: “Sesungguhnya Allah mengharamkan bisnis miras, bangkai, babi dan patung-patung”. (HR. Jabir).
Hadis diatas menjelaskan tentang larangan jualbeli minuman keras, bangkai, babi, serta patung berhala. Keempatnya adalah haram menurut dzatnya. Khamr aadalah semua minuman atau zat cair, yang banyak atau sedikitnya memabukkan, apapun nama dan bahannya. Bangkai adalah hewan yang mati bukan dengan sembelihan secara syar‟i. Babi merupakan hewan yang sudah dikenal, baik piaraan/ternak maupun babi hutan/celeng yaitu sama haramnya. Ashnam adalah segala benda yang dijadikan berhala/sesembahan, baik dalam bentuk patung mkhluk bernyata, patung makhluk imajiner ataupun mesti hanya berupa batu atau salib. Al-Qur‟an juga telah menjelaskan tentang larangan memperdagangkan barang yang haram:
Artinya: Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nahl: 115)
3. Melakukan metode distribusi yang bersifat jujur, tidak mengurangi ukuran, standart, kualitas, dan timbangan secara curang.
Al-Qur‟an memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan jangan sampai melakukan kecurangan dalam bentuk pengurangan takaran dan timbangan.17 Jujur dalam takaran ini sangat penting untuk diperhatikan sebab Tuhan sendiri mengatakan dalam firmannya QS. Al-Muthaffiffin
1-3:
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka meminta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.”
Artinya: Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. Al-Isra‟: 35).19
Dari ayat diatas jelas bahwa berbuat curang dalam berbisnis sangat dibenci oleh Allah SWT, maka mereka termasuk orang-orang yang celaka. Kata ini menggambarkan kesedihan, kecelakaan dan kenistaan. Berbisnis dengan cara yang curang menunjukkan suatu tindakan yang nista, dan hal ini menghilangkan nilai kemartabatan manusia yang luhur dan mulia. Dalam kenyataan hidup, orang yang semula dihormati dan dianggap sukses dalam berdagang, kemudian ia terpuruk dalam kehidupannya, karena dalam menjalankan bisnisnya penuh dengan kecurangan, ketidakadilan dan mendzalimi orang lain.
4. Bertanggungjawab atas barang yang didistribusikan.
Tanggungjawab diartikan dengan berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajiban. Dalam menjalankan kegiatan bisnis, tanggungjawab diterapkan terhadap mitra yang harus dihormati hak dan kewajibannya. Islam tidak pernah mentolerir pelanggaran atas hak dan kewajibannya itu sehingga disinilah yang harus dipikul oleh manusia. Bertanggungjawab terhadap amanah yang diberikan merupakan ciri bagi muslim yang bertaqwa. Amanah adalah titipan yang menjadi tanggungan, bentuk kewajiban atau utang yang harus kita bayar dengan cara melunasinya sehingga kita merasa aman atau terbebas dari segalam tuntutan. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-An‟am: 164.
Artinya: Katakanlah: “Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan”.
5. Adil, dan tidak mengerjakan hal-hal yang dilarang di dalam Islam.
Keadilan pada umumnya adalah keadaan atau situasi dimana setiap orang memperoleh apa yang menjadi halnya dan setiap orang memperoleh bagian yang sama. Dengan demikian berarti bahwa keadilan adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban. Berbuat adil berarti menghargai dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, sebaliknya berbuat tidak adil berarti menginjak-injak harkat dan martabat manusia. Keadilan dalam distribusi merupakan suatu kondisi yang tidak memihak pada salah satu pihak atau golongan tertentu dalam ekonomi, sehingga menciptakan keadilan merupakan kewajiban yang tidak bisa dihindari dalam ekonomi Islam.23 Adil dalam arti melakukan kerjasama yang saling menguntungkan dengan jujur, sederajat, dan memberikan keuntungan bagi kedua pihak dan tidak membenarkan cara-cara yang hanya menguntungkan seseorang, lebih-lebih yang dapat mendatangkan kerugian pada orang lain atau keuntungan yang diperoleh ternyata merugikan kepentingan umum.
Dalam beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, Islam mengharuskan untuk berbuat adil, tak terkecuali kepada pihak yang tidak disukai. Pengertian adil dalam Islam diarahkan agar hak orang lain, hak lingkungan sosial, hak alam semesta dan Allah dan Rasul-Nya berlaku sebagai stakeholder dari perilaku adil seseorang. Semua hak- hak tersebut harus ditempatkan sebagaimana mestinya (sesuai aturan syariah). Tidak mengakomodir salah satu hak diatas, dapat menempatkan seseorang tersebut pada kezaliman. Karena orang yang adil akan lebih dekat dengan ketakwaan.24 Allah berfirman dalam QS. Al-Isra‟: 8 sebagai berikut:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.25
Selain itu juga telah dijelaskan dalam QS. An-Nahl: 90 sebagai berikut:
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
6. Tolong menolong, toleransi dan sedekah.
Melakukan kegiatan distribusi dengan dilandasi rasa tolong menolong antar patner bisnis, menjaga toleransi antar pelaku bisnis serta tidak lupa untuk menyisihkan sebagian harta untuk infaq dan sedekah. Islam telah menganjurkan agar harta kekayaan tidak hanya beredar diantara orang-orang kaya saja, akan tetapi dapat memberikan kontribusi pada kesejahteraan masyarakat sebagai suatu keseluruhan.26
Pelaku bisnis menurut Islam, tidak hanya sekedar mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya, tetapi juga berorientasi kepada sikap ta‟awun (menolong orang lain) sebagai implikasi sosial kegiatan bisnis. Tegasnya, berbisnis, bukan mencari untung materi semata, tetapi didasari kesadaran memberi kemudahan bagi orang lain dengan menjual barang.
7. Tidak pernah lalai ibadah karena kegiatan distribusi.
Dalam melakukan kegiatan distribusi tidak boleh mengganggu kegiatan ibadah kepada Allah. Firman Allah yang artinya:
Artinya: laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (QS. An-Nur: 37).
8. Ikhtikar dilarang karena akan menyebabkan kenaikan harga.
Ikhtikar ialah menumpuk dan menyimpan barang dalam masa tertentu, dengan tujuan agar harganya suatu saat menjadi naik dan keuntungan besarpun diperoleh.29 Di dalam Islam melarang penimbunan atau hal-hal yang menghambat pendistribusian barang sampai ke konsumen. Menimbun adalah membeli barang dalam jumlah yang banyak kemudian menyimpannya dengan maksud untuk menjualnya dengan harga tinggi. Penimbunan dilarang dalam Islam, hal ini dikarenakan agar supaya harta tidak hanya beredar di kalangan orang-orang tertentu. Seperti dalam sebuah hadits yang artinya:
“Siapa saja yang melakukan penimbunan untuk mendapatkan harga yang paling tinggi, dengan tujuan mengecoh orang Islam maka termasuk perbuatan yang salah”(H.R Ahmad).
9. Mencari keuntungan yang wajar.
Seorang penjual dilarang menentukan keuntungan secara berlebihan, karena hal tersebut akan memberatkan pembeli. Apabila harga suatu barang sangat mahal maka pembeli tidak akan sanggup membeli. Ketika seorang pembeli tidak sanggup membeli suatu barang maka ia tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian pemerataan ekonomi tidak akan tercapai.
10. Distribusi kekayaan yang meluas, Islam mencegah penumpukan kekayaan pada kelompok kecil dan menganjurkan distribusi kekayaan kepada seluruh lapisan masyarakat.31 Islam membenarkan hak-hak milik pribadi, namun tidak membenarkan mengumpulkan harta benda pribadi sampai batas-batas yang dapat merusak fondasi sosial Islam, karena mengumpulkan harta yang berlebihan bertentangan dengan kepentingan umum, yang berimbas pada merusaknya sistem sosial dengan munculnya kelas-kelas yang mementingkan kepentingan pribadi. Di samping itu, mengumpulkan harta yang berlebihan dapat melemahkan daya beli masyarakat dan menghambat mekanisme pasar bekerja secara adil, karena harta tidak tersebar di masyarakat.
Apabila terjadi yang sedemikian, dibenarkan bagi pemerintah dengan kekuasaannya untuk mengambil secara paksa harta tersebut demi kepentingan masyarakat melalui instrumen zakat. Kebijakan untuk membatasi harta pribadi dapat dibenarkan dengan dilakukan untuk menjamin terciptanya kondisi sosial yang sehat dan terwujudnya landasan keadilan distribusi di masyarakat.
11. Kesamaan Sosial, maksudnya dalam pendistribusian tidak ada diskriminasi atau berkasta-kasta, semuanya sama dalam mendapatkan ekonomi.
Bagaimana Ekonomi Islam dapat Mempromosikan Etika Bisnis yang Tinggi?
Ekonomi Islam menempatkan penekanan kuat pada prinsip-prinsip etika bisnis yang tinggi. Beberapa cara di mana ekonomi Islam dapat mempromosikan etika bisnis yang tinggi melibatkan aspek-aspek berikut:
- Prinsip Keadilan: Ekonomi Islam mendorong keadilan dalam segala aspek kehidupan ekonomi. Konsep keadilan ini mencakup pembagian kekayaan dan peluang dengan cara yang adil. Bisnis harus memperlakukan semua pihak yang terlibat, termasuk karyawan, pelanggan, dan pemegang saham, dengan adil dan setara.
- Larangan Riba (Bunga): Ekonomi Islam melarang praktik riba atau bunga. Hal ini bertujuan untuk mencegah eksploitasi dan keuntungan yang tidak adil. Dengan menghindari bunga, bisnis dalam ekonomi Islam diharapkan untuk fokus pada model keuangan yang lebih adil dan berkelanjutan.
- Transparansi dan Tanggung Jawab: Bisnis dalam ekonomi Islam dianjurkan untuk beroperasi dengan tingkat transparansi yang tinggi. Informasi keuangan dan operasional harus tersedia untuk semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, bisnis memiliki tanggung jawab sosial untuk memberikan manfaat kepada masyarakat dan lingkungan.
- Pencegahan Spekulasi dan Perjudian: Ekonomi Islam menghindari praktik spekulatif dan perjudian. Prinsip-prinsip ini mengarah pada pengembangan bisnis yang memiliki dasar yang kuat dan memberikan nilai tambah kepada masyarakat.
- Larangan Muamalah Haraam: Bisnis dalam ekonomi Islam diharapkan untuk menghindari transaksi atau kegiatan yang dianggap haram (terlarang) dalam Islam. Misalnya, bisnis yang terkait dengan alkohol, perjudian, atau produk-produk yang bertentangan dengan nilai-nilai agama.
- Kepemilikan dan Pengelolaan Harta dengan Etika: Ekonomi Islam mendorong kepemilikan dan pengelolaan harta dengan etika yang baik. Pemilik bisnis diharapkan untuk memperlakukan harta dan sumber daya dengan bijak serta mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip tersebut, ekonomi Islam dapat mempromosikan etika bisnis yang tinggi, menciptakan lingkungan bisnis yang adil, transparan, dan berkelanjutan secara sosial dan ekonomi.
Referensi
Ahmad Mujahidin, Ekonomi Islam 2, (Riau: Al-Mujtahadah Press, 2010), 21.
Ruslan, Kebijakan Distribusi Ekonomi Islam Dalam Membangun Keadilan Ekonomi Indonesia, 78.
Atok Syihabuddin, “Etika Distribusi Dalam Ekonomi Islam”. Ekonomi, (2017), Vol 20: 87.
QS. An-Nur (24): 37.
Muhammad Djakfar, Etika Bisnis Islami, 102.
Sofyan S Harahap, Etika Bisnis dalam Perspektif Islam, 140.
Muhammad Djakfar, Etika Bisnis Islami, 101.
QS. Al-Isra‟ (17): 8.
Ruslan Abdul Ghofur Noor, Kebijakan Distribusi Ekonomi Islam Dalam Membangun Keadilan Ekonomi Indonesia, (Yogyakarta: Puataka Pelajar, 2013), 77.
Faisal Badroen, dkk., Etika Bisnis Dalam Islam, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2006), 91.
Sofyan S Harahap, Etika Bisnis dalam Perspektif Islam, 140.
QS. Al-An‟am (6): 164.
QS. Al-Isra‟ (17): 35.
QS. An-Nahl (16): 115.
Sofyan S Harahap, Etika Bisnis dalam Perspektif Islam, 139.
QS. Al-Muthaffiffin (83): 1-3.
Syeikh Abu Abdullah Bin Abd Al-Salam „Allusy, Ibanah Al-Ahkam Syarah Bulugh Al-Maram, (Kuala Lumpur: Al-Hidayah Publication, 2010), 4.
Sofyan S Harahap, Etika Bisnis dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Salemba Empat, 2011), 139. 13 Nurul Hanani dan Ropingi el Ishaq, Ekonomi Islam Dan Keadilan Sosial, (Kediri: STAIN Kediri Press, 2011), 211.
Muhammad Djakfar, Etika Bisnis Islami: Tataran Teoritis dan Praktis, (Malang: UIN Malang Press, 2008), 101.
M. Darwan Rahardjo, Etika Ekonomi dan Manajemen, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1990), 98.
Muhammad, Etika Bisnis Islami, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2004), 65-68.
Siti Maroah, Pendidikan Etika Bisnis Untuk Meningkatkan Kesadaran Hidup Berwawasan Lingkungan, Jurnal Th. V No. 8 Januari 2008, 5.
Mustaq Ahmad, Etika Bisnis Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka AL-KAUSAR, 2003), 36.
Madjid Fakhri, Etika Dalam Islam (Yogyakarta: Pustaka Belajar dan Pusat Studi Islam-UMS, 1996), xv-xvi.