Fraud adalah suatu bentuk penyimpangan dimana penerapan perilaku negatif yang terjadi di masyarakat, termasuk di dalam pekerjaan. Faktor yang membuat seseorang melakukan fraud adalah adanya hal yang dapat mengurangi hambatan dalam mencapai suatu tujuan, yaitu dengan melakukan fraud (kecurangan) tersebut.
Auditing Standards No. 99 mendefinisikan fraud sebagai tindakan yang disengaja yang menghasilkan suatu salah saji material dalam laporan keuangan yang menjadi subjek dalam audit. Sedangkan menurut Albrecht (2011), mendefenisikan fraud (penipuan) adalah istilah umum, dan mencakup semua cara aneka yang dapat dirancang oleh kecerdikan manusia, yang terpaksa oleh satu individu, untuk mendapatkan keuntungan di atas yang lain dengan representasi palsu. Artinya, fraud merupakan hal yang bersifat umum dan memiliki banyak makna, yang terjadi karena kecerdikan manusia dan ditujukan untuk satu pihak untuk memperoleh keuntungan lebih dengan penyajian yang salah. Tidak ada aturan khusus yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam mengartikan fraud yang terdiri dari kejutan, penipuan, kelicikan dan cara yang tidak wajar yang digunakan sebagai cara untuk menipu orang lain. Satu-satunya cara untuk menjelaskannya adalah bahwa fraud merupakan hal yang merusak moral manusia.
Auditing Standards No. 99 mendefinisikan fraud sebagai tindakan yang disengaja yang menghasilkan suatu salah saji material dalam laporan keuangan yang menjadi subjek dalam audit. Sedangkan menurut Albrecht (2011), mendefenisikan fraud (penipuan) adalah istilah umum, dan mencakup semua cara aneka yang dapat dirancang oleh kecerdikan manusia, yang terpaksa oleh satu individu, untuk mendapatkan keuntungan di atas yang lain dengan representasi palsu. Artinya, fraud merupakan hal yang bersifat umum dan memiliki banyak makna, yang terjadi karena kecerdikan manusia dan ditujukan untuk satu pihak untuk memperoleh keuntungan lebih dengan penyajian yang salah. Tidak ada aturan khusus yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam mengartikan fraud yang terdiri dari kejutan, penipuan, kelicikan dan cara yang tidak wajar yang digunakan sebagai cara untuk menipu orang lain. Satu-satunya cara untuk menjelaskannya adalah bahwa fraud merupakan hal yang merusak moral manusia.
Association Of Certified Fraud Examiner (ACFE) (2014), mengemukakan bahwa terdapat tiga jenis fraud yaitu:
1. Corruption (korupsi)
Corruption atau korupsi dalam hal ini memiliki arti yang serupa tetapi tidak sama dengan istilah korupsi yang ada dalam UU No. 31 tahun 1999. 30 tindak pidana korupsi dan bukan empat bentuk seperti yang digambarkan dalam ranting-ranting: conflict of interest, bribery, illegal gratuities, economic extortion (Tuanakotta, 2014). Conflict of interest atau benturan kepentingan sering kita jumpai dalam berbagai bentuk, salah satunya bisnis pejabat (penguasa) dan keluarga serta kroninya yang menjadi pemasok atau rekanan lembaga-lembaga pemerintah termasuk di dunia bisnis sekalipun (Tuanakotta, 2014). Maka muncullah istilah Bribery atau penyuapan untuk memuluskan serta melancarkan proses dari rencana yang sudah dibuat. Illegal gratuities atau pemberian hadiah terselubung untuk individu terkait. Tidak jarang juga individu tersebut mendapat economic extortion atau ancaman jika tidak menjalankan perintah yang sudah disampaikan. Keempat elemen corruption tersebut saling berkaitan erat antara satu sama lain, karena semua pihak ingin merasa aman dan lancar dalam mencapai tujuannya.
2. Asset Misappropriation
Pada cash misappropriation, fraud bisa dilakukan pada saat uang tersebut belum masuk ke perusahaan (skimming). Selain itu fraud yang bisa dilakukan ialah dengan mencuri atau pencurian (larceny). Hal ini dapat dilakukan apabila uang tersebut sudah masuk ke perusahaan. Berbeda lagi apabila arus uang yang masuk sudah terekam oleh sistem akuntansi perusahaan, maka penjarahan uang melalui pengeluaran yang tidak sah disebut fraudulent disbursements (Tuanakotta, 2014).
3. Fraudulent Statements
Fraud adalah misstatement (salah saji) baik overstatements maupun understatements yang terdiri dari dua ranting cabang yaitu financial dan non[1]financial. Overstatement dalam hal ini adalah penyajian aset atau pendapatan yang lebih tinggi dari yang sebenarnya. Sedangkan understatement dalam hal ini adalah penyajian asset atau pendapatan yang lebih rendah dari yang sebenarnya. Untuk non-finacial fraud, dapat berupa pemalsuan atau pemutarbalikan keadaan laporan, penyampaian laporan non- keuangan yang menyesatkan, atau laporan yang lebih bagus dari yang sebenarnya dimana laporan tersebut digunakan untuk keperluan intern maupun ekstern perusahaan (Tuanakotta, 2014).
Fraud Triangle
Cressey (dalam Skousen, Smith & Wright, 2008) mencetuskan fraud triangel yang dapat digunakan untuk mendeteksi penyebab terjadinya fraud (kecurangan)
Adapun tiga elemen yang menjadi penyebab terjadinya kecurangan (fraud) seperti yang tertera pada gambar diatas, yaitu:
1. Tekanan (Pressure)
Tekanan adalah motivasi seseorang untuk melakukan penipuan, biasanya karena beban keuangan (Shelton, 2014). Tekanan juga dapat dikatakan sebagai keinginan atau intuisi seseorang yang terdesak melakukan kejahatan. Menurut SAS No. 99 (dalam Skousen, Smith & Wright, 2008) terdapat beberapa kondisi terkait dengan tekanan yang mengakibatkan seseorang melakukan fraud, yaitu:
a. Stabilitas Keuangan (Financial Stability)
Merupakan keadaan yang mendeskripsikan kondisi keuangan perusahaan dalam keadaan stabil. SAS No. 99 (dalam Skousen, Smith & Wright, 2008) menjelaskan terdapat tekanan yang dihadapi oleh manajemen untuk melakukan kecurangan serta manipulasi laporan keuangan ketika stabilitas keuangan dan profitabilitas perusahaannya terancam, baik itu kondisi ekonomi, industri, maupun situasi lainnya. Selain itu, bentuk manipulasi pada laporan keuangan yang dilakukan oleh manajemen berkaitan dengan pertumbuhan aset perusahaan. Loebbecke & Bell (dalam Skousen, Smith & Wright, 2008) mengindikasikan perusahaan yang mengalami pertumbuhan di bawah rata-rata industri, beresiko lebih tinggi untuk memanipulasi laporan keuangan guna meningkatkan prospek perusahaan. Beasley (dalam Skousen, Smith & Wright, 2008) mengatakan hal yang sering dimanipulasi dalam laporan keuangan adalah yang terkait dengan pertumbuhan aset. Oleh karena itu, rasio perubahan total aset dijadikan proksi pada variabel stabilitas keuangan (financial stability). Skousen, Smith & Wright (2008) juga membuktikan, dengan semakin besarnya rasio perubahan total aset suatu perusahaan, maka semakin tinggi pula kemungkinan dilakukannya kecurangan laporan keuangan suatu perusahaan.
b. Tekanan Eksternal (External Pressure)
Skousen, Smith & Wright (2008) mengatakan kemampuan perusahaan dalam membayar utang atau memenuhi persyaratan utang merupakan salah satu sumber tekanan eksternal. Selain itu, kemungkinan manajer memiliki tekanan untuk mendapatkan tambahan utang atau modal. Sehingga dapat digunakan rasio leverage yaitu debt to asset ratio dalam variabel proksi ini.
c. Kebutuhan Keuangan Pribadi (Personal Financial Need)
Dunn (dalam Skousen, Smith & Wright, 2008) mengindikasikan bahwa adanya kecenderungan manajer maupun direksi perusahaan untuk memanipulasi keadaan keuangannya untuk kebutuhan pribadinya. Hal ini dapat mengancam kondisi perusahaan.
d. Target Keuangan (Financial Target)
Skousen, Smith & Wright (2008) mengatakan return on total aset (ROA) adalah ukuran kinerja operasional secara luas digunakan untuk menunjukkan seberapa efisien aset telah digunakan. ROA sering digunakan dalam menilai kinerja manajer. Sehingga adanya kemungkinan untuk memanipulasi data tersebut agar kinerja dari manajer tersebut dapat dinilai baik dan layak untuk mendapatkan kompensasi dari para pemegang saham.
Albrecht (2011) menyatakan bahwa Penipuan dapat dilakukan untuk mendapatkan keuntungan diri sendiri atau organisasi. Penipuan karyawan, di mana seorang individu malakukan penggelapan terhadap atasannya, yang dimana biasanya menguntungkan bagi pelaku. Penipuan manajemen, di mana petugas organisasi menipu investor dan kreditor dengan memanipulasi laporan keuangan, yang paling sering dilakukan untuk menguntungkan organisasi dan pejabat. Menurut Albrecht (2011) pressure (tekanan) dibedakan menjadi empat bagian yaitu:
a. Tekanan Keuangan (Financial Pressure)
Adanya tekanan dari segi finansial menjadi faktor utama terjadinya fraud. Beberapa faktor yang membuat penyelesaian tekanan finansial tersebut dengan cara fraud (kecurangan), yaitu:
- Greedy (keserakahan)
- Living beyond one’s means (standar hidup yang terlalu tinggi)
- High bills or personal debt (banyaknya tagihan dan utang)
- Poor credit (kredit yang hampir jatuh tempo)
- Unexpected financial needs (kebutuhan hidup yang tidak terduga)
b. Kebiasaan Buruk (Vice Pressure)
Vice Pressures disebabkan oleh dorongan untuk memenuhi kebiasaan yang buruk, misalnya berhubungan dengan: judi, obat-obat terlarang, dan barang-barang mahal yang sifatnya negatif. Sebagai contoh, seseorang yang menjadi pemakai obat-obatan terlarang akan terdorong untuk melakukan apapun untuk memperoleh uang guna mendapatkan obat-obatan tersebut.
c. Tekanan Pekerjaan (Work-related pressures)
Tekanan yang berasal dari hubungan kerja maupun dari sistem yang diterapkan perusahaan atau organisasi. Hal ini bisa disebabkan oleh gaji yang diberikan terlalu kecil, kurang dihargai oleh rekan kerja, dan pada akhirnya merasa pekerjaan yang diberikan kurang memuaskan.
d. Tekanan Lainnya (Other Pressure)
Tekanan-tekanan dari pihak atau hal lain seperti tekanan dari pasangan yang menginginkan hidup mewah, tekanan hidup karena kehidupan keluarga yang kritis, tekanan sosial yang menuntut untuk meraih kesuksesan
Dalam penelitian ini yang dijadikan sebagai proksi dari Pressure yaitu faktor Financial Stability, Financial Targets, dan External Pressure. Hal ini mengacu pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Martantya & Daljono (2013), yang menyatakan, variabel stabilitas keuangan dan variabel target keuangan terbukti berpengaruh secara signifikan terhadap kemungkinan terjadinya kecurangan laporan keuangan. Sedangkan variabel tekanan eksternal, variabel kepemilikan manajerial, dan variabel efektivitas pengawasan terbukti tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kemungkinan terjadinya kecurangan laporan keuangan.
2. Kesempatan (Opportunity)
Kesempatan adalah kondisi dimana suatu kejahatan sangat mungkin untuk dilakukan. Shelton (2014) menyatakan kesempatan adalah metode kejahatan yang bisa dilakukan, seperti beban keuangan. Menurut SAS No. 99 (dalam Skousen, Smith & Wright, 2008) terdapat beberapa kondisi terkait dengan kesempatan yang mengakibatkan seseorang untuk melakukan kecurangan laporan keuangan yaitu:
a. Kondisi Industri
Loebbecke (dalam Skousen, Smith & Wright, 2008) melakukan pengamatan terhadap sejumlah penipuan yang melibatkan piutang dan persediaan. Selain itu, menurut Summers & Sweeney (dalam Skousen, Smith & Wright, 2008), untuk mengidentifikasi manipulasi laporan keuangan, manajemen dapat menggunakan catatan piutang tak tertagih dan persediaan usang perusahaan.
b. Ineffective of monitoring
Dunn (dalam Skousen, Smith & Wright, 2008) mengatakan semakin sedikit anggota dewan komisaris eksternal, maka semakin besar pula kemungkinan perusahaan melakukan fraud (penipuan) dan begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, untuk mengetahui persentase anggota dewan komisaris eksternal dapat menggunakan BDOUT. Penelitian yang Skousen, Smith & Wright (2008) menunjukan bahwa rasio dewan komisaris independen tidak berpengaruh terhadap kecurangan laporan keuangan.
c. Struktur Organisasional
Dunn (dalam Skousen, Smith & Wright, 2008) menyimpulkan bahwa CEO dengan kedudukannya dapat mendominasi pengambilan keputusan. Struktur organisasi dapat memberikan gambaran pengendalian internal dan arus hubungan vertikal maupun horizontal pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam perusahaan.
Fraud dapat dilakukan apabila terdapat peluang untuk melakukannya. Peluang itu dapat diambil apabila Fraud yang dilakukannya berisiko kecil untuk diketahui dan dideteksi. Menurut Albrecht (2011) ada enam faktor yang dapat meningkatkan peluang bagi individu untuk melakukan Fraud, antara lain :
- Kurangnya control untuk mencegah dan atau mendeteksi Fraud.
- Ketidakmampuan untuk menilai kualitas kinerja.
- Kegagalan untuk mendisiplinkan para pelaku Fraud
- Kurangnya pengawasan terhadap akses informasi
- Ketidakpedulian dan ketidakmampuan untuk mengantisipasi Fraud
- Kurangnya jejak audit (audit trail)
3. Rasionalisasi (Rationalization)
Elemen ketiga dari fraud triangle adalah rasionalisasi dan yang paling sulit diukur (Skousen, Smith & Wright, 2008). Rasionalisasi adalah sikap yang memperbolehkan seseorang melakukan kecurangan, dan menganggap tindakannya tersebut tidaklah salah. Mereka yang terlibat dalam penipuan laporan keuangan mampu merasionalisasi tindakan penipuan secara konsisten dengan mereka kode etik mereka (Suyanto, 2009). Ada beberapa kondisi terkait dengan kesempatan yang mengakibatkan seseorang untuk melakukan kecurangan, yaitu:
a. Auditor Change
Rasionalisasi adalah bagaimana membenarkan pikirannya dalam melakukan tindakan kejahatan (Shelton, 2014). Loebbecke (dalam Skousen, Smith & Wright, 2008) menunjukkan kejadian kegagalan audit dan peningkatan litigasi segera setelah perubahan auditor, sehingga perubahan auditor digunakan untuk mengukur rasionalisasi.
b. Opini audit
Skousen, Smith & Wright (2008) berpendapat bahwa rasionalisasi adalah faktor yang masih sulit untuk dideteksi. Beberapa opini dapat diberikan auditor atas perusahaan yang diauditnya sesuai dengan kondisi yang terjadi pada perusahaan tersebut. Salah satu opini tesebut adalah wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelas. Francis & Krishnan (dalam Skousen, Smith & Wright, 2008) menggunakan opini audit sebagai proksi dari rasionalisasi. Hal ini dikarenakan rasionalisasi mengindikasikan pembenaran atas kesalahan yang dilakukan.
Pada dasarnya rationalization melatarbelakangi fraud yang dilakukan. Hal tersebut yang membuat seseorang dari yang tidak ingin melakukan Fraud hingga pada akhirnya melakukannya. Rasionalisasilah yang menjadi suatu alasan yang bersifat pribadi (karena ada faktor lain) yang membenarkan perbuatan tersebut walaupun perbuatan itu sebenarnya salah. Albrecht (2011) mengemukakan rasionalisasi yang sering terjadi ketika melakukan fraud, yaitu:
- Ini dilakukan untuk sesuatu yang mendesak 24
- Tidak ada pihak yang dirugikan
- Saya hanya meminjam dan akan membayarnya kembali
- Aset itu sebenarnya milik saya (perpetrator’s fraud)
- Kami akan memperbaiki pembukuan setelah masalah keuangan ini selesai
Dari faktor-faktor Rasionalisasi diatas yang digunakan dalam penelitian ini sebagai proksi dari Rationalization yaitu opini audit, sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mafiana (2016), financial stability, external pressure, financial targets, nature of industry, dan opini audit terbukti berpengaruh positif terhadap fraudulent financial statement.
Fraud Diamond
Wolfe & Hermanson (2004) menambahkan satu kondisi kedalam teori fraud triangle yang ditemukan oleh Cressey (dalam Skousen, Smith & Wright, 2008) dimana kondisi ini mempengaruhi seseorang melakukan kecurangan, dengan elemen kemampuan (capability). Wolfe & Hermanson (2004) berpendapat bahwa penipuan tidak akan terjadi tanpa orang yang tepat dengan kemampuan yang tepat untuk melaksanakan setiap detail dari penipuan. Oleh sebab itu muncul satu teori baru yang bernama teori fraud diamond. Berikut ini gambaran dari fraud diamond yaitu:
Wolfe & Hermanson (2004) berpendapat bahwa posisi dalam organisasi dapat memberikan kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan dalam melakukan fraud. Wolfe & Hermanson (2004) juga menjelaskan terkait elemen kemampuan (capability) dalam tindakan pelaku kecurangan, yaitu:
Position/function
Suatu kemampuan berkaitan dengan posisi seseorang di dalam suatu perusahaan dalam memanfaatkan kesempatan untuk melakukan penipuan. Semakin tinggi jabatan seseorang didalam perusahaan, maka akan semakin besar pengaruhnya atas situasi tertentu atau lingkungan.
Brains
Memiliki pemahaman kemampuan yang tepat akan membuat seseorang menjadi cukup cerdas untuk memanfaatkan kelemahan pengendalian internal, fungsi, akses wewenang untuk keuntungan pribadinya.
Confidence / ego
Dengan ego yang kuat dan keyakinan bahwa dia tidak akan terdeteksi melakukan kecurangan menjadi karakteristik dasar seorang pelaku fraud. Ciri kepribadian yang lain berupa percaya diri dan sering mencintai diri sendiri.
Coercion skills
Pelaku fraud (kecurangan) dapat memaksa orang lain untuk melakukan atau menyembunyikan penipuan. Pelaku ini merupakan pribadi yang persuasif dan dapat meyakinkan orang lain untuk bekerja sama dalam penipuan.
Effective lying
Kebohongan yang efektif dan konsisten menjadi kunci sukses bagi si pelaku fraud (kecurangan). Ketika menghindari deteksi, individu harus mampu berbohong meyakinkan, dan harus melacak cerita secara keseluruhan.
Immunity to stress
Diperlukan kemampuan mengendalikan stress karena menyembunyikan fraud dalam waktu yang lama menimbulkan stress.
Namun dalam penelitian ini akan digunakan perubahan direksi sebagai proksi dari capability, sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sihombing & Rahardjo (2014) menggunakan perubahan direksi sebagai proksi dari capability (kemampuan) untuk mengetahui indikasi terjadinya financial statement fraud. Perubahan direksi dapat menimbulkan kinerja awal yang tidak maksimal karena membutuhkan waktu untuk beradaptasi (Sihombing & Rahardjo, 2014).
Kecurangan Laporan Keuangan (Fraudulent Financial Statement)
Kecurangan laporan keuangan adalah tindakan salah saji material yang disengaja dalam laporan keuangan. Menurut Sihombing & Rahardjo (2014), kecurangan laporan keuangan adalah laporan keuangan yang disajikan tidak sesuai dengan unsur kesengajaan ataupun kelalaian dengan prinsip akuntansi berterima umum. Kelalaian atau kesengajaan ini sifatnya material sehingga dapat memengaruhi keputusan yang akan diambil oleh pihak yang berkepentingan. Australian Audit Standard (AUS) (dalam Brennan & McGrath, 2007), fraudulent financial reporting adalah salah saji yang disengaja termasuk kelalaian jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan untuk menipu pengguna laporan keuangan. Menurut Wells (2011) dalam Sihombing & Rahardjo (2014) menyatakan bahwa kecurangan laporan keuangan mencakup beberapa modus antara lain pemalsuan, pengubahan, atau manipulasi catatan keuangan, dokumen pendukung atau transaksi bisnis.
- Penghilangan yang disengaja atas peristiwa, transaksi, akun, atau informasi signifikan lainnya sebagai sumber dari penyajian laporan keuangan.
- Penerapan yang salah dan disengaja terhadap prinsip akuntansi, kebijakan, dan prosedur yang digunakan untuk mengukur, mengakui, melaporkan dan mengungkapkan peristiwa ekonomi dan transaksi bisnis.
- Penghilangan yang disengaja terhadap informasi yang seharusnya disajikan dan diungkapkan menyangkut prinsip dan kebijakan akuntansi yang digunakan dalam membuat laporan keuangan.
Menurut ACFE (2014) kecurangan laporan keuangan adalah kesalahan penggambaran atau penyajian kondisi finansial suatu organisasi yang disengaja yang atau pengungkapan di laporan keuangan yang bertujuan untuk menghilangkan hambatan dalam mencapai tujuan finansial yang ada serta mengelabui pengguna laporan keuangan. Selain itu menurut ACFE (2014) terdapat beberapa alasan umum mengapa seseorang melakukan kecurangan laporan keuangan, diantaranya:
- Mendorong investasi melalui pelepasan saham. Menunjukkan peningkatan laba per saham atau laba dari persekutuan yang pada akhirnya meningkatkan bonus atau dividen.
- Menutupi ketidakmampuan menghasilkan arus kas.
- Menghilangkan persepsi negatif publik terhadap kinerja organisasi.
- Mendapatkan pembiayaan atau mendapatkan syarat pembiayaan yang lebih menguntungkan.
- Mendapatkan harga yang tinggi untuk akuisisi.
- Menunjukkan kepatuhan terhadap perjanjian pembiayaan.
- Untuk mencapai tujuan perusahaan.
- Mendapatkan kinerja yang baik untuk tujuan bonus.
Sumber Bacaan
Sihombing, K. S., & Rahardjo, S. N. (2014). Analisis Fraud Diamond dalam Mendeteksi Financial Statement Fraud: Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2010- 2012. Diponegoro Journal of Accounting, 2337-3806.
Brennan, N. M., & McGrath, M. (2007). Financial Statement Fraud: Incidents, Methods and Motives. Australian Accounting Review, 49-61.
Wolfe, D. T., & Hermanson, D. R. (2004). The Fraud Diamond: Considering the Four Elements of Fraud. CPA Journal, 74.
Skousen, C. J., Smith, K. R., & Wright, C. J. (2008). Detecting and Predecting Financial Statemen Farud: The Effectiveness of The Fraud Triangle and SAS. Vol 99.
Albrechtt, W. S., Albrecht, C. O., Albrecht, C. C., & Zimbelman, M. F. (2011). Fraud Examination. Mason, Ohio USA: Cengage Learning.
Shelton, A. (2014). Analysis of Capabilities Attributed to the Fraud Diamond. Undergraduate Honors There, Paper 21.
Suyanto. (2009). Fraudulent Financial Statement Evidence from Statement on Auditing Standard. Gajah Mada International Journal of Business, 117- 144.
Albrechtt, W. S., Albrecht, C. O., Albrecht, C. C., & Zimbelman, M. F. (2011). Fraud Examination. Mason, Ohio USA: Cengage Learning.
Shelton, A. (2014). Analysis of Capabilities Attributed to the Fraud Diamond. Undergraduate Honors There, Paper 21.

