Teori Keagenan (Agency Theory)

Teori Agensi Dalam Teori Akuntansi

Teori Agensi Dalam Teori Akuntansi

Dalam teori keagenan, dijelaskan adanya dua pihak ekonomi yang sering kali memiliki kepentingan bertentangan, yaitu prinsipal dan agen. Hubungan keagenan melibatkan kontrak di mana satu atau lebih individu (prinsipal) memberikan mandat kepada individu lain (agen) untuk melaksanakan jasa atas nama prinsipal, sekaligus memberikan wewenang kepada agen untuk mengambil keputusan terbaik bagi prinsipal (Ichsan, 2013). Ketika prinsipal dan agen memiliki tujuan yang sejalan, agen akan sepenuhnya mendukung dan melaksanakan instruksi dari prinsipal.

Namun, konflik terjadi jika agen tidak menjalankan arahan prinsipal demi kepentingan pribadinya. Dalam konteks penelitian ini, pemerintah berfungsi sebagai prinsipal, sedangkan perusahaan bertindak sebagai agen. Pemerintah menginstruksikan perusahaan untuk membayar pajak sesuai peraturan perpajakan yang berlaku. Namun, perusahaan sebagai agen sering memprioritaskan kepentingan internalnya, seperti memaksimalkan keuntungan, dengan cara mengurangi beban termasuk beban pajak melalui penghindaran pajak. Sebagai pengambil keputusan, manajer perusahaan berupaya memaksimalkan laba dengan berbagai kebijakan, yang salah satunya adalah meminimalkan beban pajak. Keputusan ini dipengaruhi oleh karakteristik manajer dan faktor-faktor seperti pertumbuhan penjualan serta leverage.

Pertumbuhan penjualan yang meningkat menunjukkan adanya peningkatan laba, sehingga manajer terdorong untuk mengoptimalkan keuntungan melalui berbagai strategi. Selain itu, leverage digunakan sebagai sarana mendapatkan dana eksternal guna mendukung operasional. Leverage meningkatkan beban bunga, yang pada gilirannya dapat mengurangi beban pajak karena adanya manfaat perlindungan pajak. Faktor-faktor ini menjadi pertimbangan penting bagi manajer dalam merancang kebijakan untuk memaksimalkan laba.

Konflik keagenan seperti ini dapat dikurangi melalui mekanisme tertentu, salah satunya pengungkapan corporate governance (Evianisa, 2014). Menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) dalam Evianisa (2014), corporate governance adalah seperangkat aturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, manajemen perusahaan, kreditur, pemerintah, karyawan, dan pemangku kepentingan lainnya mengenai hak serta kewajiban mereka. Dalam penelitian ini, corporate governance mencakup ukuran perusahaan, komite audit, dan kualitas audit sebagai faktor utama.

Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan hubungan keagenan sebagai:

agency relationship as a contract under which one or more person (the principals) engage another person (the agent) to perform some service on their behalf which involves delegating some decision making authority to the agent”.

Hubungan keagenan adalah suatu kontrak di mana satu atau lebih pihak (prinsipal) memerintahkan pihak lain (agen) untuk melakukan jasa atas nama prinsipal dan memberi agen wewenang untuk membuat keputusan terbaik bagi prinsipal. Jika kedua belah pihak memiliki tujuan yang sama untuk memaksimalkan nilai perusahaan, maka agen akan bertindak sesuai dengan kepentingan prinsipal. Teori keagenan menggambarkan hubungan antara pemegang saham (sebagai prinsipal) dan manajemen (sebagai agen). Manajemen, yang dikontrak oleh pemegang saham, harus bekerja demi kepentingan pemegang saham dan mempertanggungjawabkan semua pekerjaannya.

Menurut Hendriksen dan Van Breda (2002) dalam Setyawati (2010), konsep teori keagenan muncul dari perluasan dari satu individu menjadi dua individu ekonomi. Salah satu individu bertindak sebagai agen untuk yang lain yang disebut prinsipal. Agen membuat kontrak untuk melakukan tugas tertentu bagi prinsipal, yang memberi imbalan kepada agen. Prinsipal mempekerjakan agen untuk melaksanakan tugas demi kepentingan prinsipal, termasuk pendelegasian wewenang pengambilan keputusan. Analoginya adalah hubungan antara pemilik perusahaan dan manajemen perusahaan, di mana pemilik adalah evaluator informasi dan agen adalah pengambil keputusan. Hubungan agensi terjadi ketika terdapat kontrak antara seorang prinsipal dan seorang agen untuk melakukan pelayanan bagi kepentingan prinsipal, termasuk pendelegasian wewenang kepada agen.

Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa teori keagenan menggambarkan pemegang saham sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen. Manajemen diberi sebagian kekuasaan untuk membuat keputusan demi kepentingan terbaik pemegang saham dan harus mempertanggungjawabkan semua upayanya kepada pemegang saham.

Fokus teori keagenan adalah pada penentuan kontrak yang paling efisien untuk mendasari hubungan antara prinsipal dan agen. Prinsipal merancang kontrak untuk memotivasi agen dengan mengakomodasi kepentingan semua pihak yang terlibat. Kontrak yang efisien memenuhi dua faktor: (1) Agen dan prinsipal memiliki informasi yang simetris, artinya keduanya memiliki kualitas dan jumlah informasi yang sama sehingga tidak ada informasi tersembunyi, dan (2) Risiko yang dipikul agen berkaitan dengan imbal jasanya kecil, sehingga agen memiliki kepastian tinggi mengenai imbalan yang diterimanya.

Namun, dalam praktiknya, simetri informasi jarang terjadi karena manajer memiliki lebih banyak informasi mengenai perusahaan dibandingkan prinsipal. Hal ini menyebabkan kontrak efisien sulit terwujud dan hubungan agen-prinsipal selalu dilandasi oleh asimetri informasi. Agen, sebagai pengendali perusahaan, memiliki informasi lebih baik dan lebih banyak dibandingkan prinsipal. Verifikasi yang sulit menyebabkan tindakan agen sulit diamati, membuka peluang agen untuk memaksimalkan kepentingannya sendiri dengan tindakan yang tidak semestinya atau disfunctional behaviour, yang merugikan prinsipal.

Baik prinsipal maupun agen diasumsikan mementingkan diri sendiri untuk memaksimalkan utilitas subjektif mereka, tetapi juga menyadari kepentingan umum mereka. Efeknya, perusahaan dipandang sebagai tim yang terdiri dari individu-individu yang bertindak demi kepentingan sendiri tetapi menyadari bahwa nasib mereka tergantung pada kemampuan tim untuk bersaing dengan tim lain. Agen berusaha memaksimalkan fee kontraktual berdasarkan tingkat upaya yang diperlukan, sedangkan prinsipal berusaha memaksimalkan returns dari penggunaan sumber dayanya berdasarkan fee yang dibayarkan kepada agen.

Masalah keagenan muncul ketika prinsipal kesulitan memastikan bahwa agen bertindak untuk memaksimalkan kesejahteraan prinsipal. Manajemen tidak membedakan risiko, sementara pemilik menghindari risiko. Konflik kepentingan meningkat karena prinsipal tidak dapat memonitor aktivitas manajemen sehari-hari secara terus-menerus untuk memastikan bahwa manajemen bertindak sesuai dengan keinginan prinsipal.

Konflik kepentingan antara pemilik dan agen muncul karena agen tidak selalu bertindak sesuai dengan keinginan prinsipal, yang menyebabkan terjadinya biaya keagenan (agency cost). Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan:

“agency cost as the sum of (1) the monitoring expenditures by the principal; (2) the bonding expeditures by the agent; (3) the residual loss”.

Biaya keagenan didefinisikan sebagai biaya yang dikeluarkan oleh prinsipal untuk mengawasi agen. Sangat sulit bagi perusahaan untuk mencapai biaya keagenan nol guna memastikan manajer mengambil keputusan yang optimal bagi pemegang saham karena perbedaan kepentingan yang besar di antara mereka. Jensen dan Meckling (1976) membagi biaya keagenan menjadi tiga kategori: biaya monitoring, biaya bonding, dan kerugian residual. Biaya monitoring adalah biaya yang ditanggung oleh prinsipal untuk memantau perilaku agen, termasuk mengukur, mengamati, dan mengontrol tindakan agen. Biaya bonding adalah biaya yang ditanggung oleh agen untuk menetapkan dan mematuhi mekanisme yang menjamin bahwa mereka akan bertindak sesuai dengan kepentingan prinsipal. Kerugian residual adalah pengurangan kemakmuran prinsipal yang terjadi akibat perbedaan antara keputusan agen dan keputusan optimal bagi prinsipal.

Menurut Scott (2000), inti dari Teori Keagenan adalah merancang kontrak yang tepat untuk menyelaraskan kepentingan prinsipal dan agen dalam situasi konflik kepentingan. Aplikasi teori keagenan diwujudkan dalam kontrak kerja yang mengatur proporsi hak dan kewajiban masing-masing pihak, serta memperhitungkan manfaat keseluruhan. Kontrak kerja adalah seperangkat aturan yang mengatur mekanisme bagi hasil, keuntungan, pengembalian, dan risiko yang disepakati oleh prinsipal dan agen. Kontrak kerja optimal adalah yang mencapai keseimbangan antara prinsipal dan agen, menunjukkan pelaksanaan kewajiban optimal oleh agen dan pemberian insentif yang memuaskan dari prinsipal kepada agen.

Teori keagenan menyarankan bahwa salah satu cara untuk menyelaraskan tujuan prinsipal dan agen adalah melalui mekanisme pelaporan (Luayyi, 2010). Informasi adalah kunci untuk mengurangi ketidakpastian, memberikan peran penting bagi akuntan dalam membagi risiko antara manajer dan pemilik. Eisenhardt (1989) menyatakan bahwa teori keagenan menggunakan tiga asumsi sifat manusia: self-interest (mementingkan diri sendiri), bounded rationality (daya pikir terbatas), dan risk aversion (menghindari risiko). Agen memiliki lebih banyak informasi tentang kapasitas diri, lingkungan kerja, dan perusahaan secara keseluruhan, sementara prinsipal memiliki informasi yang lebih sedikit tentang kinerja agen. Ketidakseimbangan informasi ini disebut asimetri informasi.

Asimetri informasi dan konflik kepentingan antara prinsipal dan agen mendorong agen untuk menyajikan informasi yang tidak akurat kepada prinsipal, terutama jika informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja agen. Penelitian Richardson (1998) dalam Halim (2005) menunjukkan hubungan antara asimetri informasi dengan manajemen laba. Ketika asimetri informasi tinggi, pemangku kepentingan tidak memiliki sumber daya, insentif, atau akses ke informasi yang relevan untuk memonitor tindakan manajer, memberikan peluang untuk praktek manajemen laba. Asimetri informasi antara manajemen (agen) dan pemilik (prinsipal) memungkinkan manajer melakukan manajemen laba untuk menyesatkan pemilik mengenai kinerja ekonomi perusahaan (Ujiyantho dan Pramuka, 2007). Dalam konteks ini, asimetri informasi yang digunakan untuk melakukan manajemen laba dapat menyesatkan Bank Indonesia dalam menilai kesehatan dan kelayakan operasional bank.

Barolla dalam Muid dan Bernandhi (2014) menyatakan bahwa teori keagenan menunjukkan adanya hubungan kontraktual antara manajer sebagai agen dan pemegang saham sebagai prinsipal. Kontrak antara kedua pihak seharusnya menghasilkan hubungan yang efisien agar keduanya mendapatkan keuntungan maksimal. Sistem kontrak kerja yang jelas dapat mengurangi konflik keagenan dan menekan perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen.

Hubungan kontrak yang efisien tercapai ketika manajer sebagai agen dan pemegang saham sebagai prinsipal mendapatkan informasi yang sama dengan kualitas yang baik, sehingga tidak ada pihak yang menyembunyikan informasi yang bisa menguntungkan satu pihak saja.

Teori keagenan dapat menyebabkan asimetri informasi karena manajer memiliki lebih banyak informasi mengenai kondisi dan perkembangan perusahaan dibandingkan pemegang saham. Pemegang saham juga tidak dapat mengawasi semua tindakan manajer, sehingga sulit mengetahui apakah keputusan manajer menguntungkan atau merugikan mereka.

Asimetri informasi dan kesulitan pemegang saham dalam mengawasi tindakan manajer memungkinkan manajer memaksimalkan kepentingannya sendiri. Jika asimetri informasi ini terus berlanjut, dapat menyebabkan financial distress dan kebangkrutan.

Manajer sebagai agen harus transparan dalam mengelola perusahaan di bawah pengawasan prinsipal. Salah satu bentuk pertanggungjawabannya adalah dengan menyusun laporan keuangan yang melaporkan kondisi keuangan perusahaan pada periode tertentu. Agen diharapkan mampu mengelola perusahaan dengan baik agar kondisi keuangan sehat dan tidak terjadi financial distress, yang dapat mengurangi kepercayaan investor dan kreditor untuk menginvestasikan dana mereka karena tidak adanya kepastian atas return yang akan diberikan.

Tiga asumsi yang mendasari teori keagenan

Teori keagenan menjelaskan bahwa manajemen dan pemilik memiliki kepentingan yang berbeda. Ada tiga asumsi dasar dalam teori ini: asumsi sifat manusia, asumsi keorganisasian, dan asumsi informasi (Eisenhardt, 1989).

Pertama, asumsi sifat manusia mengungkapkan bahwa manajer cenderung bersikap oportunistik, yaitu mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan perusahaan lainnya. Manajer, sebagai agen perusahaan, bertanggung jawab mengoptimalkan keuntungan pemilik (prinsipal) tetapi juga ingin mendapatkan kompensasi sesuai kontrak. Dengan demikian, ada dua kepentingan yang berbeda dalam perusahaan, dengan masing-masing pihak berusaha mencapai kesejahteraan yang diinginkan.

Kedua, asumsi keorganisasian menekankan adanya konflik di antara anggota organisasi, efisiensi sebagai ukuran efektivitas, dan asimetri informasi antara prinsipal dan agen.

Ketiga, asumsi informasi menjelaskan tentang asimetri informasi yang mungkin terjadi antara pemilik (prinsipal) dan manajemen (agen).

Asimetri informasi ini memberi kesempatan bagi manajer untuk bertindak oportunistik, seperti melakukan manajemen laba (earnings management). Manajemen laba dilakukan manajer untuk memaksimalkan kepentingan pribadi mereka (Jensen dan Meckling, 1976). Manajemen laba dapat terjadi karena adanya motivasi perusahaan untuk mencapai tingkat dividen yang diharapkan. Semakin tinggi nilai dividen yang diharapkan, semakin tinggi pula nilai pasar perusahaan dan kekayaan pribadi manajer, yang juga dapat mengatasi konflik keagenan (Bathala et al., 1994).

Referensi

Ichsan. (2013). Judul Tesis. Universitas Indonesia.

Evianisa. (2014). Judul Artikel. Jurnal Penelitian.

Jensen, M. C., & Meckling, W. H. (1976). Theory of the firm: Managerial behavior, agency costs and ownership structure. Journal of Financial Economics, 3(4), 305-360.

Setyawati. (2010). Judul Tesis. Universitas Indonesia.

Hendriksen, E. S., & Van Breda, M. F. (2002). Accounting theory (6th ed.). McGraw-Hill.

Yushita. (2010). Judul Tesis. Universitas Indonesia.

Halim. (2005). Judul Tesis. Universitas Indonesia.

Ujiyantho, H., & Pramuka, B. A. (2007). Judul Artikel. Jurnal Penelitian.

Muid, D., & Bernandhi, E. H. (2014). Judul Artikel. Jurnal Penelitian.

Eisenhardt, K. M. (1989). Agency theory: An assessment and review. Academy of Management Review, 14(1), 57-74.

Scott, W. R. (2000). Institutions and organizations: Ideas, interests, and identities. Sage Publications.

Luayyi. (2010). Judul Tesis. Universitas Indonesia.

Richardson, S. A. (1998). Judul Artikel. Jurnal Penelitian.

Bathala, C. T., Rao, R. P., & Rao, Z. (1994). Agency theory and dividend payout ratios. Journal of Financial Research, 17(2), 215-230.

Related Post