Scott (1997) dalam Halim, (2005) mendefinisikan manajemen laba sebagai berikut:
“Given that managers can choose accounting policies from a set (for example, GAAP), it is natural to expect that they will choose policies so as to maximize their own utility and/or the market value of the firm”.
Menurut definisi tersebut, manajemen laba adalah proses di mana manajer memilih kebijakan akuntansi dari standar yang ada untuk secara alami memaksimalkan utilitas mereka atau nilai pasar perusahaan. Scott (2000) membagi pemahaman tentang manajemen laba menjadi dua kategori. Pertama, sebagai perilaku oportunistik manajer yang berusaha memaksimalkan utilitas pribadi mereka terkait dengan kontrak kompensasi, kontrak utang, dan biaya politik (Opportunistic Earnings Management). Kedua, dari sudut pandang efficient contracting (Efficient Earnings Management), yang melihat manajemen laba sebagai cara untuk memberikan fleksibilitas kepada manajer agar dapat melindungi diri dan perusahaan dalam menghadapi kejadian tak terduga untuk kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Dengan demikian, manajer dapat mempengaruhi nilai pasar saham perusahaan melalui manajemen laba, contohnya dengan perataan laba (income smoothing) dan pertumbuhan laba dari waktu ke waktu.
Sedangkan menurut Healy and Wahlen (1999):
“ Earnings management occurs when managers use judgment in financial reporting and structuring transaction to alter financial report to either mislead some stakeholders about the underlying economic performance of the company or to influence contractual outcomes that depend on reported accounting numbers”.
Manajemen laba terjadi ketika manajer memanfaatkan penilaian dalam laporan keuangan dan penyusunan transaksi untuk mengubah laporan keuangan, dengan tujuan memanipulasi laba yang dilaporkan kepada berbagai pemangku kepentingan mengenai kinerja ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil perjanjian (kontrak) yang bergantung pada angka-angka akuntansi yang dilaporkan.
Menurut Healy dan Wahlen (1999), definisi ini mencakup tiga aspek penting:
(a) Manajer memiliki berbagai alasan atau justifikasi untuk mempengaruhi laporan keuangan perusahaan. Contohnya, mereka bisa menggunakan justifikasi untuk memperkirakan berbagai kejadian ekonomi masa depan, seperti umur mesin, nilai sisa, aset jangka panjang, penundaan pajak, atau kerugian akibat piutang tak tertagih. Selain itu, manajer harus memilih metode penyusutan dan sistem pencatatan persediaan yang diizinkan.
(b) Manajemen laba sering kali digunakan untuk menyajikan informasi yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya kepada pemegang saham, atau setidaknya kepada beberapa tingkat pemegang saham mengenai kinerja ekonomi perusahaan yang sebenarnya. Hal ini mungkin terjadi ketika manajer yakin bahwa pemegang saham tidak mampu mengidentifikasi atau tidak peduli dengan praktik manajemen laba.
(c) Justifikasi yang dilakukan oleh manajer untuk menggunakan manajemen laba membawa implikasi baik manfaat maupun biaya. Artinya, manajemen laba memiliki dua dampak langsung: manfaat dan biaya. Biaya yang mungkin terkait dengan manajemen laba meliputi potensi kesalahan alokasi sumber daya yang disebabkan oleh praktik tersebut. Sedangkan manfaatnya termasuk peningkatan kemampuan manajemen dalam menyampaikan informasi penting kepada pihak luar, yang pada akhirnya dapat memperbaiki keputusan alokasi sumber daya.
Schipper (1989) menyatakan :
“by „earnings management‟ I really mean „disclossure management‟ in the sense of a purposeful intervention in the external financial reporting process with the intent of obtaining some private gain (as opposed to, say, merely facilitating the neutral operation of the process”.
Schipper mendefinisikan manajemen laba sebagai intervensi yang disengaja dalam proses pelaporan keuangan eksternal dengan tujuan untuk meraih keuntungan pribadi tertentu.
Manusia cenderung menghindari risiko dan berusaha meminimalkan potensi kerugian dalam aktivitas bisnis mereka. Risiko perusahaan dapat mengalami penurunan yang lebih signifikan dibandingkan dengan persentase kenaikan laba, sehingga banyak perusahaan yang melakukan manajemen laba sebagai upaya untuk mengurangi risiko.
Ada perbedaan pandangan mengenai legalitas manajemen laba. Sebagian pihak melihatnya sebagai pelanggaran terhadap prinsip akuntansi, sementara yang lain menganggap manajemen laba sebagai praktik yang wajar dalam penyusunan laporan keuangan, terutama jika dilakukan dalam batasan prinsip akuntansi. Perbedaan pandangan ini menghasilkan beragam definisi tentang manajemen laba.
Scott (1997) dalam Halim (2005) mendefinisikan manajemen laba sebagai pemilihan kebijakan akuntansi tertentu oleh manajer untuk mencapai tujuan tertentu. Sementara itu, Schipper (1989) menyebut manajemen laba sebagai intervensi dengan tujuan tertentu terhadap proses pelaporan keuangan pribadi, yang mengartikan manajemen laba sebagai perilaku oportunistik manajer untuk memaksimalkan utilitas mereka. Watts dan Zimmerman (1989) menjelaskan bahwa perilaku oportunistik manajer tersebut dapat diwakili dalam Positive Accounting Theory melalui tiga bentuk hipotesis:
The Bonus Plan Hypothesis
Hipotesis ini menyatakan bahwa jika semua faktor lain tetap sama (ceteris paribus), maka manajer perusahaan yang memiliki rencana pemberian bonus akan cenderung memilih prosedur akuntansi yang memungkinkan mereka untuk memindahkan penghasilan dari periode mendatang ke periode saat ini.
The Debt Covenant Hypothesis
Menurut hipotesis ini, jika semua faktor lain tetap sama (ceteris paribus), maka semakin mendekati batas pelanggaran perjanjian utang berbasis akuntansi, semakin besar kemungkinan manajer akan memilih prosedur akuntansi yang dapat memindahkan penghasilan dari periode mendatang ke periode saat ini.
The Political Cost Hypothesis
Hipotesis ini berpendapat bahwa jika semua faktor lain tetap sama (ceteris paribus), perusahaan yang menghadapi biaya politik yang tinggi akan semakin cenderung memilih prosedur akuntansi yang menunda penghasilan saat ini untuk dilaporkan pada periode berikutnya. Dalam hal ini, manajer dapat melakukan manajemen laba dengan memilih metode atau kebijakan akuntansi tertentu untuk menaikkan atau menurunkan laba sesuai kebutuhan. Mereka bisa menaikkan laba dengan memindahkan penghasilan dari periode mendatang ke periode sekarang atau sebaliknya, menurunkan laba dengan memindahkan penghasilan dari periode sekarang ke periode berikutnya (Schipper, 1989).
Scott (2000) dalam Rahmawati (2007) menyebutkan beberapa alasan di balik terjadinya manajemen laba sebagai berikut:
- Bonus Purposes
Manajer yang memiliki informasi tentang laba bersih perusahaan mungkin akan bertindak secara oportunistik untuk mengelola laba dengan cara memaksimalkan laba saat ini (Healy, 1985). - Political Motivation
Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan pada perusahaan publik. Tekanan publik sering kali menyebabkan perusahaan mengurangi laba yang dilaporkan agar pemerintah tidak memberlakukan peraturan yang lebih ketat. - Taxation Motivations
Penghematan pajak menjadi motivasi utama dalam manajemen laba. Berbagai metode akuntansi diterapkan untuk mengurangi pajak pendapatan. - Pergantian CEO
CEO yang mendekati masa pensiun cenderung meningkatkan pendapatan untuk memperoleh bonus yang lebih tinggi. Jika kinerja perusahaan buruk, mereka mungkin akan memaksimalkan pendapatan agar tidak diberhentikan. - Initial Public Offering (IPO)
Perusahaan yang akan melakukan IPO sering kali belum memiliki nilai pasar yang jelas, sehingga manajer cenderung melakukan manajemen laba dalam prospektus mereka untuk meningkatkan harga saham perusahaan. - Pentingnya Memberi Informasi Kepada Investor
Informasi tentang kinerja perusahaan harus disampaikan kepada investor agar laporan laba mencerminkan kinerja yang baik, sehingga investor tetap memiliki penilaian positif terhadap perusahaan.
Scott (2000) dalam Rahmawati (2007) mengidentifikasi beberapa motivasi yang mendorong terjadinya manajemen laba, yaitu:
- Bonus Purposes
Manajer yang mengetahui informasi mengenai laba bersih perusahaan mungkin akan bertindak oportunistik untuk melakukan manajemen laba dengan cara memaksimalkan laba saat ini (Healy, 1985). - Political Motivations
Manajemen laba dapat digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan oleh perusahaan publik. Perusahaan seringkali mengurangi laba yang dilaporkan sebagai respons terhadap tekanan publik, yang menyebabkan pemerintah menerapkan peraturan yang lebih ketat. - Taxation Motivations
Penghematan pajak merupakan motivasi utama dalam manajemen laba. Berbagai metode akuntansi digunakan untuk mengurangi beban pajak pendapatan. - Pergantian CEO
CEO yang mendekati masa pensiun cenderung meningkatkan pendapatan untuk memperbesar bonus mereka. Jika kinerja perusahaan buruk, mereka mungkin akan memaksimalkan pendapatan agar tidak diberhentikan. - Initial Public Offering (IPO)
Perusahaan yang akan melakukan IPO sering kali belum memiliki nilai pasar yang jelas, sehingga manajer melakukan manajemen laba dalam prospektus mereka untuk berupaya meningkatkan harga saham perusahaan. - Pentingnya Memberi Informasi Kepada Investor
Informasi tentang kinerja perusahaan harus disampaikan kepada investor untuk memastikan bahwa laporan laba menunjukkan kinerja perusahaan yang baik.
Menurut Scott (2000) dalam Wahyono, dkk (2013), pola manajemen laba dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut:
- Taking a Bath
Teknik ini biasanya diterapkan saat reorganisasi, seperti ketika ada pengangkatan CEO baru. Pada metode ini, perusahaan mengakui biaya dan kerugian yang akan datang pada periode yang sama, sehingga laba periode berikutnya menjadi lebih tinggi. - Income Minimization
Dilakukan saat perusahaan mengalami tingkat profitabilitas yang tinggi. Untuk mengatasi penurunan laba di masa depan yang diperkirakan drastis, perusahaan dapat mengurangi laba periode berjalan dengan cara mengambil laba dari periode sebelumnya. - Income Maximization
Metode ini diterapkan ketika laba menurun. Tujuannya adalah untuk melaporkan laba bersih yang lebih tinggi demi memperoleh bonus yang lebih besar dan menghindari pelanggaran terhadap kontrak hutang jangka panjang. - Income Smoothing
Perusahaan menggunakan teknik ini untuk meratakan laba yang dilaporkan, sehingga fluktuasi laba tidak terlalu besar. Investor umumnya lebih menyukai laba yang stabil. - Offsetting Extraordinary/Unusual Gains
Teknik ini dilakukan dengan memindahkan efek laba yang tidak biasa atau temporal untuk mengimbangi tren laba yang ada. - Aggressive Accounting Applications
Teknik ini melibatkan penyajian informasi yang tidak akurat atau misstatement, yang digunakan untuk mendistribusikan laba di antara periode-periode. - Timing Revenue and Expense Recognition
Melibatkan kebijakan tertentu terkait waktu pengakuan transaksi, seperti pengakuan pendapatan yang prematur.
Manajemen laba dapat dilakukan melalui tiga pola utama: income increasing, income decreasing, dan income smoothing. Masing-masing pola ini memiliki tujuan yang spesifik. Scott (2000) dalam Nasution dan Setiawan (2007) menyebutkan bahwa manajemen laba dapat dilakukan dengan berbagai cara, termasuk menurunkan laba (income decreasing earnings management). Salah satu tujuan dari penurunan laba ini adalah untuk menghindari pembayaran pajak yang tinggi; dengan laba bersih yang rendah, pajak yang dikenakan juga menjadi lebih rendah.
Sebaliknya, income increasing bertujuan untuk menghindari kerugian, menghindari pelaporan penurunan laba, dan menghindari kegagalan dalam memenuhi perkiraan analis. Sedangkan income smoothing atau perataan laba biasanya dilakukan oleh manajer untuk menstabilkan tingkat laba mereka guna menjaga harga pasar saham.
Lebih lanjut, Widowati (2009) dalam Setiawati (2010) mengidentifikasi beberapa pertimbangan atau motivasi perusahaan dalam praktik manajemen laba:
- Kompensasi manajer yang terkait dengan laba akuntansi.
- Pertimbangan pasar modal.
- Penggunaan angka akuntansi dalam kesepakatan utang atau kredit.
- Pertimbangan pajak.
- Pertimbangan peraturan yang berlaku.
- Memperoleh atau mempertahankan kendali atas perusahaan.
- Pertimbangan karyawan.
Manajemen laba merupakan isu penting dalam studi teori akuntansi modern. Ini terjadi ketika manajer menggunakan penilaian mereka dalam pelaporan keuangan atau konstruksi transaksi dengan tujuan mengubah laporan keuangan dan menyesatkan stakeholder mengenai kinerja operasional perusahaan, atau untuk memanipulasi hasil kontrak berdasarkan angka akuntansi. Dengan kata lain, manajemen laba juga dikenal sebagai manipulasi penghasilan yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan antara manajer (agen) dan pemilik saham (prinsipal), yang dikenal sebagai teori keagenan (Chen dan Tsai, 2015).